SAMURAI, Senjata dan Teknik Bertempur (Part 3)


Prajurit Samurai Berkuda

A. Tuan Tanah dan Pengikut

Kuda tetap merupakan hal yang penting dalam organisasi militer hingga 1467, begitu pentingnya hingga unit-unit militer selalu dihitung berdasarkan para penunggang kuda, sementara prajurit pejalan kaki tidak banyak disebutkan hingga abad ke-14.Pembagian antara yang dapat menunggang kuda dan yang tidak merupakan sesuatu yang penting.Pada 1284, sebagai contoh, pemerintah bakufu Kamakura melarang para biksu dan “kelompok hina” menunggang kuda.Bahkan sekalipun para biksu dan orang biasa tidak diizinkan berkuda, orang-orang yang tidak menjabat sebagai jito masih menganggap diri mereka sebagai pejuang yang sederajat, sehingga menimbulkan banyak ketegangan di Jepang sepanjang tahun 1333.

Diantara orang-orang yang boleh berkuda, yang paling utama adalah para pejuang yang memiliki garis keturunan bangsawan maupun tanah.Mereka menunggang kuda terhebat, dan mudah dikenali dari baju zirah berbentuk kotak yang mewah.Gokenin ini memiliki kediaman dan tanah yang luas, dan bertanggung jawab untuk menyediakan keperluan bagi sekelompok pengikutnya, tepatnya pengawalnya, yang berjumlah antara tiga hingga 35 orang.Para pengikutnya disebut samurai dalam bahasa sehari-hari masa itu. Kuda dan baju zirah orang-orang ini disediakan oleh tuangokenin mereka, dan jika mereka terluka atau tewas dalam pertempuran, tuan merekalah yang akan mendapatkan ganti rugi, bukan mereka. Tidak peduli seberapa hebat tindakan yang dilakukan seorang samurai, mereka tidak akan mendapatkan pengakuan secara individual. Sebaliknya, semua kehormatan dan hadiah diberikan kepada tuan mereka.

Beberapa pejuang tidak memiliki legitimasi, atau perkenan tertentu dari pemerintahan Kamakura.Terutama berada dibagian tengah dan barat Jepang, mereka tidak memiliki hak jito, ataupun dipanggil untuk bertugas.Orang-orang ini, disebut myoshu, atau “tuan myo” (myo merupakan suatu ukuran satuan tanah), menganggap dirinya sederajat dengan gokenin, sehingga tidak suka mengabdi kepada mereka.Selama waktu singkat di tahun 1281, kekurangan sumber daya manusia yang meningkat karena kebutuhan untuk menghadapi penyerbu Mongol menyebabkan beberapa pejabat bakufu Kamakura berusaha menggabungkan myoshu ke dalam pasukanya, tetapi kebijakan ini dengan segera ditinggalkan.

Namun ketika perang saudara pecah pada tahun 1330-an, banyak orang yang diminta ikut bertempur, termasuk gokenin dan myoshu.Kejatuhan Kamakura pada tahun 1333 dan berlanjutnya peperangan selama dua generasi membuat kedua kelompok yang berebeda ini bergabung ke dalam sebuah unit sosial yang lebih besar dimana samurai ini dikenal dengan nama “orang provinsi” (kokujin) atau “orang luar” (tozama), dimana istilah yang kedua menekankan otonomi mereka. Di beberapa wilayah, sekelompok kecil penunggang kuda, yang terlalu miskin untuk memperoleh otonomi, berkumpul bersama sebagai unit kolektif. Mereka dikenal dengan namahyakusho, atau seratus nama, suatu istilah yang secara keliru dianggap menunjukan kaum petani.


Karena memilik sebuah nama, mereka menduduki bagian pinggiran elite masyarakat, karena mereka pada dasarnya lebih baik dari strata masyarakat berikutnya yang lebih umum, yang disebut sebagai “kelompok hina” (genin. Yang luar biasa, hyakusho menunggang kuda dan bertempur, serta diakui sebagai sebuah kelompok.Selama abad ke-15, dan dengan munculnya pasukan yang lebih besar, mustahil memelihara otonomi ini.Akibatnya, banyak yang bergabung dengan kelompok-kelompok pejuang sebagai pengikut yang terikat (samurai), sementara yang lainya berfokus untuk memperkuat dirinya. Namun individu-individu dari kelompok kedua ini sangat mudah dikenali, karena sekalipun menunggang kuda mereka menggunakan baju zirah sederhana, sering kali tidak lebih dari sekadar pelindung perut (hara-ate).


Seorang pembawa panji Takezaki Suenaga menunggang seekor kuda dihadapan sebuah tembok batu yang melindungi Jepang dari penyerbu Mongol tahun 1281.

B. Karakter Kudan Jepang

Cerdas, independen, dan keras kepala, kuda Jepang dipuja karena sikap otonominya, sama seperti pejuang yang menungganginya. Seorang penunggang yang terbiasa dengan tunggangan yang lebih patuh menggambarkan sebagai makhluk ganas yang keras kepala, karena kuda-kuda Jepang tidak selalu mematuhi perintah tuanya.Sekalipun demikian, kebanyakan samurai kelihatanya menghargai sikap independen ini.

Tidak ada tradisi pengebirian kuda, sesuatu yang tidak lazim karena masyarakat yang sangat bergantung pada kuda biasanya melakukan hal demikian.Hal ini menimbulkan masalah di awal pertempuran.Kuda-kuda jantan berkelahi saat dikumpulkan ditempat yang sempit, dan kehadiran kuda betina didekatnya hanya semakin meningkatkan ketegangan diantara kuda-kuda. Sebuah perkemahan musuh yang memiliki kuda betina ditengah pertempuran dapat menimbulkan bencana bagi samurai yang tidak beruntung saat menunggang kuda jantan yang lincah, karena bisa jadi dia akan terjatuh atau berkuda sendirian di tengah-tengah musuh diatas kuda yang sedang birahi.

Kuda Jepang merupakan keturunan dari kuda Mongol, sekalipun beberapa ahli percaya bahwa bahwa kuda-kuda itu lebih mirip kuda primitif , yang kini punah, seperti Tarpan. Kuda mungkin merupakan istilah yang tidak cocok, karena menurut klasifikasi modern semua hewan jenis ini yang tidak bertubuh besar hanya memiliki tinggi 140 cm akan disebut sebagai kuda poni. Minamoto yoritomo menunggangi hewan yang kuat, dengan tinggi 142 cm, yang belakangan hanya sedikit melewati batasan antara kuda dan poni, tetapi tungganganya merupakan kekecualian. Penggalian terhadap kuburan kuda yang berasal dari abad ke-14, menunjukan kebanyakan kuda hanya memilik ketinggian sekitar 130 cm dibagian bahu sementara kuda kuda terkecil hanya setinggi 109 cm, yang merupakan ketinggian standar keledai. Sebaliknya, kebanyakan kuda Arab memiliki tinggi sekitar 152,4 cm dibagian atas pundaknya, sementara kuda campuran rata-rata memiliki tinggi 162,56 cm.

Pendeknya rata-rata kuda Jepang juga menjelaskan alasan mengapa tidak ada tradisi memperlengkapi hewan ini dengan plat baja, sebagaimana yang muncul di Eropa.Kadang kala, zirah dari cincin logam digunakan pada abad ke-14, sementara beberapa daimyo, seperti Hojo kedua, mengisyaratkan agar para pejuang berkuda melindungi kudanya dengan zirah pada abad ke-16. Tidak ada satu pun dari mereka yang mencoba bertempur dengan membawa tombak, atau menggunakan kuda mereka untuk mengejutkan dan menghancurkan lawan-lawanya, karena tunggangan mereka tidak akan dan bahkan tidak mampu melakukan hal itu. Kuku kuda juda tidak dilindungi dengan sepatu kuda, karena baru mulai digunakn pada pertengahan abad ke-18, ketika ilmu pengetahuan dan kebiasaan Eropa disebarkan lewat buku-buku Belanda.Sebaliknya, kuda-kuda itu diperlengkapi dengan sendal jerami, yang memberikan sedikit perlindungan bagi kukunya, dimana bentuk sandal itu mirip dengan yang dikenakan penunggang kuda mereka.

Kuda-kuda kecil itu membuat orang bertubuh besar dalam posisi tidak menguntungkan dimedan laga. Fujiwara Kunihira adalah seorang yang bertubuh sangat besar, dan ukuran tubuhnya membuat sulit menunggangi dengan terampil apa yang disebut sebagai “kuda tercepat di utara Jepang.” Dia seorang keturunan puak terkenal dari utara Jepang, yang memerintah provinsi Dewa dan Mutsu dari kota mereka di Hiraizumi selama empat generasi. Kita tidak tahu tinggi Kunihara, tetapi kerabatnya yang dimumikan memiliki tinggi lebih dari 1,8 m. Tunggangannya yang malang, yang dengan tinggi 141 cm sebenarnya seekor kuda kecil (tetapi merupakan kuda yang sangat besar di Jepang) “kelelahan” setiap kali dia menungganginya hingga bukit tertinggi Hiraizumi. Kunihara mati konyol, tidak dapat menunggangi kudanya dengan baik di medan laga, pada hari kesepuluh bulan kedelapan tahun 1189.

Sebaliknya, para pejuang wanita memiliki keuntungan sebagai penunggang kuda, karena umunya bertumbuh lebih ringan dan gesit dibandingkan kaum pria. Kaum wanita dari sebuah puak pejuang biasanya akan belajar menunggang, dan ada banyak catatan mengenai mereka yang bertempur dengan menunggang kuda bersama para pria. Kisah Heike menceritakan petualangan seseorang bernama Tomoe Gozen, yang menjadi pejuang wanita paling terkenal di Jepang. Bisa jadi dia hanya tokoh dongengan, sekalipun dakta mengenai para pejuang w anita didokumentasikan dalam sumber-sumber yang lebih terpercaya. Pada tahun 1351, sebuah pasukan yang terutama terdiri atas kavaleri wanita tercatat bertempur di barat Jepang, sementara beberapa baju zirah yang dibuat menurut anatomi tubuh wanita masih tersisa hingga saat ini. Prajurit wanita tidak terlalu lazim di medan laga, tetapi pada saat bersamaan partisipasi mereka dalam pertempuran bukanlah hal langka yang mengejutkan.


Tarpan, Kuda Primitif yang kini sudah punah mirip dengan kuda Jepang di zaman Samurai


Kompetisi pemanah Yabusame, dimana para penunggang yang duduk di atas kuda yang berderap melepaskan panah ke beberapa sasaran kayu di bagian sisi mereka. Kompetisi seperti ini dilakukan selama berabad-abad. Kuda yang digunakan kini, dan yang difoto  di sini lebih tinggi daripada kuda Jepang di abad ke-19 untuk memperbaiki ukuran dan kekuatan kuda Jepang dengan menyilangkan dengan kuda kavaleri Eropa

C. Kecepatan Dalam Pertempuran

Karena kakinya pendek dan gemuk, kuda Jepang tidak mampu berlari kencang. Suatu eksperimen oleh jaringan televisi publik NHK Jepang pada tahun 1980 menunjukan bahwa seekor kuda poni perang yang membawa seorang pejuang berbaju zirah lengkap tidak pernah melebihi kecepatan 9 km/jam. Untuk uji coba ini, seekor kuda poni setinggi 130 cm dengan berat 350 kg dipilih. Diatas tubuhnya ditambahkan beban seberat 95 kg, di mana 45 kg diantaranya terdiri atas baju zirah dan pelana, sementara50kg lainya adalah berat si penunggang. Tunggangan buruk ini, pada titik tercepatnya, hanya berlari lari kecil (kake-ashi) tetapi tidak bisa melakukan langkah panjang sebelum berderap (haya-ashi).Karena itu, berlari kecil merupakan kata yang paling banyak digunakan untuk menggambarkan kuda dalam pertempuran, sementara berlari cepat (shikku) sangat jarat dipakai. Sekalipun kuda poni modern Jepang mungkin tidak memilik kondisi sama dengan leluhurnya, kelambanan seekor kuda harus diperhatikan dalam merekontruksi adegan pertempuran. Berlari cepat hanya mencakup lari kencang dalam jarak pendek, atau dalam keadaan putus asa, tetapi selain itu kuda tunggangan samurai masuk ke medan laga dengan berderap atau berlari kecil. Kelambanan ini kelihatanya membuat adegan pertempuran tidak dramatis, tetapi hal itu memampukan dilepaskanya anak panah secara akurat.

Kuda-kuda yang lamban ini memiliki segi keuntunganya sendiri.Mereka mampu mengatasi daerah yang tidak rata, sesuatu yang penting di Jepang, yang 80 persen wilayahnya terdiri atas pegunungan.Dalam sebuah peristiwa penting tahun 1184, Minamoto Yoshitsune (1159-1189) memimpin sebuah pasukan kecil menuruni sisi sebuah bukit yang curam dalam pertempuran Ichi-no-tani, sehingga mengejutkan dan mengalahkan musuhnya. Kuda berkaki lebih panjang tidak akan mampu melakukan penurunan seperti itu.

Keuntungan yang kedua adalah, seperti kerabatnya, kuda pendek Mongol, kuda-kuda ini berlari dengan mantap dan tidak menyetak penungganya, sehingga memampukan penembakan panah dengan akurat. Sekalipun berlari kecil tidaklah secepat berlari cepat , hal itu terbukti lebih menopang sehingga lebih cocok memanah daripada lari cepat yang melonjak-lonjak. Kecepatan lamban ini juga menghindari kuda terperosok ke dalam lumpur dikawasan yang tanahnya buruk, seperti sawah.Sekalipun demikian, mereka bukanya tidak sempurna.Selama operasi militer dimusim dingin, beberapa kuda yang berjalan diatas salju bisa terperosok dalam pecahan es dan terjebak di lumpur atau sungai.

D. Pelana dan Tapak

Analisis dari tapak kuda menunjukan bahwa samurai lebih menyukai kestabilan diatas pelana, daripada kecepatan.Kuda, dan tambahanya, pelana, dimaksudkan untuk menyediakan suatu landasan tidak bergerak bagi para pemanah untuk menembak lawan-lawanya.Pelanan juga melindungi bagian tubuh bawah si penunggang, tetapi baju zirah yang berat dan besar berbentuk kotak yang didudukan di punggung kuda ini tidak dimaksudkan untuk kenyamanan.Kebanyakan pelana terbuat dari kayu yang dipernis, yang berarti kayu itu diolesi dengan damar yang diambil dari suatu tanaman yang mirip tanaman menjalar beracun.Damar ini mengeraskan kayu, dan membuatnya tahan busuk.Itulah sebabnya pelana dan banyak baju zirah dibuat dari kayu pernis, Pernis membuat suatu barang menarik, karena mengeringkanya menjadi gelap dan licin hingga dapat dihiasi emas atau perak.

Pelana ini merupakan bahan yang rumit, karena membutuhkan banyak waktu untuk diletakan diatas panggung kuda.Pertama, pelana bawah (shitagura), yang berfungsi sebagai selimut pelana, pertama- tama diletakan dinggung kuda.Pelana bawahan ini dapat dibuat dari bantalan kulit atau bulu seperti kuli harimau, yang diimpor dari Korea atau Cina.

Dipelana bawah ini, sebuah kerangka kayu, pelana (kurabone), akan diikat erat dengan tali rami. Pelana kayu terdiri atas dua bekas kayu (gi), yang ditempatkan sejajar di kedua sisi tulang punggung kuda, dan dua papan yang terikat di bagian depan dan belakang igi. Papan ini, yang disebut maewa berfungsi sebagai sebuah papan kepala pelana, shizuwa, atau potongan dibagian belakang, melengkapi pelana.

Papan kepala pelana dan potongan balok menunjukan ciri pelana militer (gunjingura) karena kedalaman dan beratnya yang tidak lazim, yang melindungi bagian bawah tubuh penunggang.Papan kepala pelana dibuat mengangkang ditulang kering kuda, titik tinggi diantara bahunya, sementara potongan balok berada dibagian menonjol dari punggung bawah kuda, dan menjadi pelindung bagian belakang seorang pejuang.Kedua papan kayu ini dipahat agar bisa masuk kedalam igi, dan diikat bersama agar sebisa mungkin mengetarkan strukturnya, Struktur ini harus diikat seketat mungkin untuk memastikannya jangan sampai tergelincir.

Selain mengikat pelana bawah ke badan kayu, harus ada ikatan yang meliliti perut kuda, dipasang lewat pelana bawah dan lewat celah di berkas kayu, dimana dia diikatkan. Di atas simpul tali pelana ini, di bagian atas struktur kayu, sebuah bantalan kursi (basen) akan menahan sanggurdi yang dihubungkan dengan kulit dan berkas lewat celah di bagian igi dan lubang di pelana bawah. Sutera atau lembaran kain kemudian mengikat papan kepala pelana ke bagian dada kuda. Tali Pegangan dada (munegai) ini akan dipadankan dengan tali pegangan belakang lainya, shrigai, yang mengikatkan balok dengan bagian belakang dan pingganng kuda dan di sekeliling bagian berdaging dari ekor kuda.

Semua tali pengikat, termasuk tali kekang, terbuat dari rami, lipatan kain atau sutera ; kulit yang lazim di Eropa, jarang digunakan di Jepang. Dua rangkaian kendali digunakan, satu dihubungkan dengan tali leher kuda untuk menuntun kuda saat tidak ditunggangi, sementara yang lainya untuk mengendalikan kuda, yang diikatkan pada sebuah kekang.Kuda dikontrol dengan kekang dimulutnya, yang terbuat dari baja dan ditempatkan dikedua pipi, dan cincin baja yang diikatkan pada tali kekang di kedua bagian pipi ini.Saat menaiki tungganganya, si penunggang selalu mengikat kekang yang digunakan untuk membawa kudanya, yang diikatkan pada tali leher kuda, ke papan kepala pelana.Rangkaian kedu tali kekang digunakan untuk mengemudikan dan menghentikan kedua, tetapi dalam pertempuran, ketika seorang penunggang harus memanah dari punggung kuda, mereka harus diikat atau dilonggarkan pada papan kepala pelana untuk memampukan pemanah membidik dan menmbak sambil berkuda. Aksi ini tidak sesulit dari yang kelihatan, karena kudanya berderap lebih lambat daripada yang sebenarnya.

Saat menembak, pemanah biasanya menembak dari bagian sisi atau belakang kudanya.Harus diperhatikan agar tidak ada benda yang melayang di dekat kepala kuda.Penunggang yang tidak berpengalaman atau kebingungan yang menghunus pedang, misalnya, bisa dijatuhkan dari kudanya.Gulungan lukisan seperti Kasuga gongen kenki dari abad ke-14 melukiskan para pejuang di atas punggung kuda yang bersenjatakan senjata panjang, seperti sebuah galah berpedang lengkung, dikenal sebagai naginata, atau cantelan yang dikenal sebagai “cakar baruang” (kumade), menunjukan bahwa dimungkinkan bagi beberapa penunggang kuda yang terampil untuk menghunus senjata genggam.


Fujiwara Nobuzane memberikan lukisan sangat akurat dari beberapa pengawal raja yang mengundurkan diri Go-Saga dalam gulungan Pengawal Berkuda Kekaisaran (Zuishin teiki emaki, sekitar 1247). Dia sangat berhati-hati dalam melukiskan perlengkapan kuda seperti tali pelana yang rumit, tali kendali (munegai) dan tali belakang (shirigai) maupun sanggurdi, tali kekang dan tali leher kuda.

E. Baju Zirah Samurai Berkuda

Kebanyakan baju zirah awal Jepaang dibuat secara khusus untuk melindungi diri dari anak panah , yang merupakan senjata utama peperangan abad ke-13 dan ke-14. Baju zirah khas samurai dapat melindungi seorang penunggang kuda. Baju zirah berbentuk kotak besar yang longgar ini memiliki bagian yang berbentuk  seperti rok, yang tergantung saat diatas pelana, dan memberikan perlindungan tambahan bagi pejuang berkuda. Saat berada di punggung kuda, penunggang hanya memerlukan sedikit perlindungan untuk bagian kaki, karena pelana melengkapi baju zirah dan melindungi tubuh bagian bawah seorang pejuang.

Fleksibilitas dan keringanan, serta perlindungan menyeluruh, mewakili dua keterbatasan yang berlawanan dari semua baju zirah.Di masa yang berbeda berdasarkan bentuk baju zirah yang dipilih.Ada yang memilih perlindungan, yang menuntut penggunaan lebih banyak bahan logam, sehingga mengorbankan keringanan dan fleksibilitas.Di Eropa abad pertengahan rangkaian logam sangat populer pada zaman Perang Salib, tetapi bahkan berat baju zirah yang fleksibel ini memiliki kekurangan. Hal ini terlihat dalam kasus Frederik Barbarosa (1122-1190) pada tahun 1190 ketka memimpin sebuah tentara di Anatolia, dimana dia tenggelam di sungai kecil Saleph yang airnya hanya sepinggang. Setelah kematian konyol Frederik, orang Eropa memilih pelindung  yang lebih kuat, yang akhirnya menggunakan plat pelindung yang berat dibandingkan plat berantai, sehingga mengurangi mobilitasnya.

Pada abad ke-15, kekurangan dari baju zirah berat ini terlihat ketika kesatria Prancis yang jatuh dari atas kudanya, yang banyak terjadi dalam pertempuran di Agincourt tahun 1415, tidak bisa bangkit dari lumpur, maupun siap membela dirinya dari lawanya yang bersenjata ringan yang menggunakan pisau lebar untuk menusuk lewat lipatan baju zirahnya dan mengakibatkan luka berat pada para ksatria yang terlentang ini.


Domaru merupakan baju zirah yang disederhanakan yang dipasang dari belakang. Seperti baju zirah kuno, plat pernis kecil dijalin bersama, tetapi baju zirahnya tidak sekotak jenis sebelumnya.


Daftar Pustaka

Thomas  D. Conlan (2014) Senjata dan Teknik Bertempur Samurai. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar