Kisah-kisah pedang muncul menjadi simbol penanda status samurai. Sebelumnya, itu sama tidak pentingnya dengan busur panah. Pedang menjadi benda yang bergengsi dan berharga, sekalipun umunya tidak semahal baju zirah maupun seekor kuda.
Tidak seperti senjata lainya, pedang memiliki nama yang sama. Namanya jugaaa dianugerahkan kepada para pejuang lainya, atau diberikan untuk tempat-tempat pemujaan maupun kuil agar didoakan. Artinya, pedang ini benar lestari namanya, terutama jika dibandingkan dengan jenis senjatala lainya.
Pembuatan pedang mencapai puncaknya pada abad ke-13, saat para pengrajin terhebat diseluruh Jepang bekerja keras untuk menempa dan membentuk baja berkali-kali agar pedang buatanya menjadi tebal sekaligus lentur. Padang Jepang memiliki pinggiran mata pedang yang keras, tetapi tidak serapuh senjata sejenis. Namun pedang ini bukanya tidak memiliki kekurangan, karena jika digunakan dengan sekuat-kuatnya terhadap sebuah ketopong musuh akan patah.
Sarung pedang dapat dibuat dari kulit, tetapi umumnya terbuat dari kayu pernis. Sarung ini biasanya sederhana, tetapi dapat dihiasi dengan marak. Di dalam sarung pedang, sebilah pisau kecil biasanya dimasukan, digunakan sebagai tusuk gigi maupun alat tempur.
Model perlengkapan pedang berubah seiring waktu, demikian juga panjang pedang yang disukai. Keterktarikan terhadap pedang yang sangat panjang, odachi, meningkat pada abad ke-14, dengan pedang yang berukuran 2 meter menjadi populer. Sejalan dengan waktu, pedang yang lebih pendek menjadi lebih disukai.
Pedang dikategorikan sesuai dengan panjangnya, pedang dengan mata yang panjang umumnya dikenal sebagai tachi. Pisau terkecil, dikenal sebagai tanto atau belati pendek, umunya memiliki panjang dibawah 30cm, mata pedang antara 30-60cm dikenal sebagai wakizashi, sementara pedang yang lebih panjang dari 60cm dikenal sebagai katana. Terdapat beberapa variasi, dengan unjung pedang dikenal sebagai tachi lebih lancip dan kaku. Namun perlahan-lahan digantikan dengan katana yang lebih bundar.
Pedang sering kali digunakan untuk menyabet musuh. Beberapa mata pedang berat yang tidak diperuncing digunakanuntuk menghantam kotopong musuh, membuatnya pingsan ddan tidak berdaya sehingga mudah dihabisi oleh pengikut sang samurai. Ketika kota Kamakura dijarah pada tahun 1333, banyak orang dibunuh dan dikubur secara tergesa-gesa di Zaimokuza. Luka sabetan terlihat lazim mengenai kening atau bagian atas kepala, sekalipun juga terlihat ekstrem di kerangka pria, wanita dan anak-anak. Beberapa tengkorak kepala dihantam sekuat tenaga, sementara yang lainya memperlihatkan potongan sejajar, menunjukan pedang melambung dari tengkorak, membuat beberapa hantaman sejajar.
Beberapa laporan menunjukan bahwa manusia dan kuda mengalami banyak sabetan pedang tetapi tetap selamat. Seekor kuda disabet tujuh kali, sementara orang lainya disabet 13kali-semua luka ini terlihat kecil, baik si hewan maupun pendekar itu selamat. Sifat luka ini juga menunjukan bahwa dalam pertempuran, orang-orang berpedang berada cukup dekat dengan musuhnya untuk menoreh dengan pinggiran pedang mereka. Samurai tidak siap mendekati musuh bersenjata, bahkan saat melakukan pertempuran satu lawan satu. Sebaliknya, mereka tetap menjaga jarak sejauh mungkin, untuk menghindari hantaman maut. Seorang pendekar yang buruk, atau tidak menyadari kehadiran lawanya, kemungkinan besar akan mengalami pukulan mematikan.
Di abad ke-14, pedang yang bernama odachi, yang bisa memiliki panjang 2,1 m. Senjata ini terbukti sangat stabil, dan mudah digunakan sekalipun panjang. Biasanya tidak disarungkan, dan sebagai gantinya, para pendekar memapahnya dipunggung mereka. Senjata ini pun tidak dapat dibawa saat berkuda, sehingga memberikan suatu pemandangan unik mengenai sifat pertempuran di abad ke-14.
Sebilah wakizashi pedang pendek dengan gagang standar, sebuah sarung pedang dan sebilah pisau kozuka. Pada abad 16 wakizashi populer sebagai pedang pendek yang bisa dipegang dengan dua tangan
B. Samurai Penombak
Tombak,
dalam banyak hal, mencerminkan transformasi taktis yang paling penting karena
membangkitkan apa yang disebut ‘taktik masa’, dimana prajurit berdiri dalam
jarak dekat menggunakan senjata mereka sebagai sebuah kelompok yang kohesif.
Perilaku ini tidak ada dalam pertempuran yang terpencar-pencar pada abad ke-14,
dimana sebuah regu kavaleri menjadi formasi tempur yang dominan. Sering kali
sejarawan berpikir bahwa senjata apilah yang menyebabkan timbulnya taktik masa
ini, tetapi pada kenyataan hal ini terjadi sebelum senjata api digunakan secara
meluas.
Tombak dan lembing telah
berabad-abad ada di Jepang, digunakan di benua Asia khususnya diantara pasukan
masal di Cina. Namun di Jepang senjata ini tidak disukai. Kita baru melihat
penggunaanya kembali pada abad ke-14. Salah satu jenis tombak, disebut tombak
Kikuchi, digunakan seorang panglima dalam sebuah pertempuran pada tahun 1333,
dan terbuat dari mata pisau pendek yang diselipkan dalam bilah bambu. Senjata
serupa juga digunakan sebelumnya pada abad ke-13, terdiri dari pisau yang
diselipkan dalam bilah sepanjang 1,52 m. Gambar senjata tersebut muncul dalam
Gulungan Invasi Mongol. Para pejuang yang tidak dapat memiliki alat perang yang
lebih efektif atau lebih mahal tampaknya harus mengandalkan senjata ini. Namun
senjata ini tidak mengakibatkan korban yang berarti, hanya 15 contoh yang
didokumentasikan selama abad ke-14. Tombak awal ini adalah versi buruk dan
pedang lengkung (naginata) dan bukan merupakan senjata yang efektif.
Tombak menjadi lebih berarti ketika
digunakan banyak orang dalam jarak dekat, karena menciptakan sebuah tembok
tegak yang tidak dapat ditembus oleh pasukan berkuda. Untuk menciptakan
kekuatan seperti itu, seorang panglima memerlukan dana dan perbekalan yang
cukup untuk membiayai sebuah pasukan di medan perang, sehingga orang-orangnya
dapat berlatih berbaris bersama dalam formasi dan mengoordinasikan penggunaan
tombak mereka. Hal ini membutuhkan perbekalan yang tetap dan konsisten.
Walaupun begitu, bertambahnya kecakapan berorganisasi dan logistik berpotensi
memajukan pasukan penombak dan mengalahkan pasukan kavaleri. Para prajurit
menggenakan baju zira yang minim, menggunakan tombak, hanya dapat menyadari
potensi mereka sepenuhnya ketika ada panglima lihai yang menyadari bahwa mereka
dapat mengalahkan pasukan kavaleri di sebuah medan pertempuran terbuka.
Selama abad ke-15. Terjadi perubahan jelas yang
mengejutkan dalam pertempuran satu lawan satu di Jepang. Berbeda dengan asumsi
umum, pedang yang disebut jiwa samurai, jarang digunakan setelah tahun 1467.
Sementara pedang menyebabkan 92 persen luka yang berasal dari pertempuran jarak
dekat pada abad ke-14, namun hanya menyebabkan 20 persen luka sejak tahun 1467.
Tombak, yang menyebabkan 2 persen luka pada abad ke-14, menjadi 80 persen dari
tahun 1467 hingga 1600. Pemilihan senjata ini semakin meningkat seiring
berjalanya waktu, karena tombak menyebabkan 74 persen dari semua non-proyektil
dari tahun 1467-77 (14 dari 19) dan 98 persen dari luka seperti itu (75 dari
76) pada tahun 1600. Sekalipun demikian, bahkan walaupun tombak begitu lazim
digunakan, para panglima sering menggambarkan pertempuran dengan pasukan yang
menggunakan tombak sebagai ’bertukar pukulan pedang’ (tachi uchi), yang
menunjukan bahwa pedang tetap memiliki arti penting secara budaya atau bahasa,
walaupun jarang digunakan dalam medan pertempuran.
Saat tombak menjadi andalan dalam pasukan Jepang, para pembuat mengubah ukurannya menjadi bertambah panjang. Semakin panjang tombak seseorang maka semakin besar keuntungan yang didapat dalam perkelahian.
C. Samurai Bersenjata Busur Panah
Busur
merupakan senjata utama samurai. Para pejuang abad ke-13 dan ke-14 menyebut
diri mereka sebagai pengikut “jalan pejuang” (kyuba no michi). Dalam rumusan ini secara implisit detekankan bahwa
pemanah berkuda menembakan anak panahnya dari punggung kuda.
Busur
Jepang panjang, dimana beberapa peninggalan yang ada, seperti busur di kuil Kasuga, memiliki panjang 187
cm, dimana yang terpanjang mencapai ukuran 200 cm panjangnya. Sekalipun
panjang, busur ini dapat ditembakan dari punggung kuda karena tidak dipegang
dibagian tengah, melainkan lebih ke bagian bawah. Alasanya tidak jelas, selain
membuat busur itu tidak mudah patah. Busur tertua yang masih ada, dan paling
sederhana, terbuat dari ranting yang lemas, atau anak pohon (dikenal sebagai marugi yumi) atau bilah yang diambil
dari potongan pohon yang lebih besar (kiyumi).
Kemudian, busur bambu campuran, yang menggunakan lem terbuat dari jeroan rusa,
dibuat ke dalam bagian dalam busur (fusetake yumi). Bambu ini tidak lemas,
dan memampukan sebuah busur, setelah ditembakan, menghentak balik dengan cepat,
sehingga memperkuat daya tembaknya. Busur ini semakin diperkuat, dengan
potongan bambu panjang yang lemas yang dilem di ujung terluarnya (sanmai uchi yumi).
Penggunaan
bambu berarti bahwa pembuat busur terutama berkumpul di bagian tengah dan barat
Jepang, dimana bambu Jepang tumbuh. Bambu terbaik berasal dari bagian tengah
Jepang, karena iklimnya lebih tinggi daripada di barat daya kyuhshu, sehingga
lebih kuat daripada bambu yang tumbuh di iklim lebih hangat. Bambu dipotong
pada musim gugur (bulan kamariah ke delapan) dan, menurut para pembuat busur,
musim semi dan gugur merupakan waktu terbaik untuk merekatkan bahan bahan
busur.
Anak
panah juga memiliki batang bambu, yang berusia tiga tahun. Mata panah sendiri
terbuat dari besi atau baja dan memiliki batang panjang yang diikat pada lubang
bambu. Berbagai bulu burung digunakan untuk membantu anak panah melesat jauh
dan mantap, dimana kebanyakan diambil dari bulu burung tangkapan. Tiga atau,
sering kali, empat bulu diikatkan dibatang bambu. Bulu Rajawali terbukti yang
sangat khas, dan paling dihargai, sementara bulu burung elang juga bisa
digunakan. Bulu ekor burung pemangsa lebih disukai, sekalipun bulu sayap merupakan
pilihan lain. Begitu pentingnya bulu-bulu ini sehingga samurai
mengklarifikasikannya ke dalam lima kategori, dimana bulu ekor terluar dianggap
yang paling baik. Bulu unggas lainya, seperti bulu angsa juga digunakan.
Demikian juga bulu burung merpati. Namun bulu burung hantu, ayam dan burung
bangau tidak pernah digunakan. Beberapa mata panah yang lebih banyak dihiasi,
sering kali diberikan ke kuil, memiliki panji keluarga yang dihiasi semarak
diatasnya. Yang lainya dibuat primitif, seperti sebuah mata panah dengan dua
gigi garpu. Mata panah panah (tanpa batang) memiliki panjang 2 hingga 4 cm,
sementara panjang beberapa sampel dengan batangnya mencapai 10-11 cm.
Kadang
kala, pandai besi akan menandai batang dari mata panah, tetapi benda-benda ini
tidak pernah berkembang menjadi benda mistik sebagaimana pedang tempaan. Batang
mata panah dimasukkan ke dalam lubang bambu yang merupakan bagian utama anak
panah. Panjang keseluruhan dari beberapa peninggalan, seperti yang berasal dari
kuil Kasuga, adalah 79,4 cm. Samurai menyimpan beberapa panah khusus dengan
nama-nama mereka tercantum di atasnya, yang hanya digunakan untuk menembak
lawan berpangkat tinggi, sehingga membuat nama mereka tercatat sebagai
pelakunya. Namun anak panah yang digunakan terhadap pejuang rendahan tidak
mencantumkan identitas pemanahnya.
Yumi (busur)
Daftar Pustaka
Thomas D. Conlan (2014) Senjata dan Teknik Bertempur
Samurai. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar