Pengajaran Sejarah Isu Kontroversial (Edriyanto)


Jika seorang murid bertanya “pak, jadi PKI itu Jahat?” atau “jadi bagaimana sebetulnya bisa muncul SUPERSEMAR?” Kamu calon guru bagaimana menjawabnya? Bagaimana menjawabnya, itu yang membuat pusing, bagaimana kita harus menjawab sebuah pertanyaan yang kita sendiri belum yakin kebenarannya. Peristiwa seperti G30S, SUPERSEMAR adalah beberapa contoh dari kasus sejarah yang masih kontroversial, kebenaranya masih diperdebatkan. Sejarah kontroversial adalah sebuah narasi tentang peristiwa sejarah yang memiliki banyak versi. Dengan banyaknya versi narasi sejarah menimbulkan kontroversi, bahkan menimbulkan pertentangan politis, ideologis dan klaim kebeneran.

   

Tapi sebetulnya dengan munculnya berbagai versi tentang sebuah peristiwa dalam sejarah, jangan dianggap sebagai kekurangan. Multi-interpretable adalah sifat dari kajian sejarah (Kuntowijoyo, 2008:16), sejarah bukan ilmu alam jadi unsur manusianya tetap ada dan mustahil menghilangkan subjektivitas. Kembali kepermasalahan pengajaran, sering kali guru ketika berhadapan dengan topik-topik kontroversial biasanya akan bereaksi menghindar atau memaksakan. Menghindar artinya ia menghindari adanya dialog yang lebih, dan memaksakan artinya memaksakan pemahaman sejarahnya “text book”. Belum lagi sumber pembelajaran berupa LKS atau buku yang menjadi pegangan murid sering memiliki kualitas yang kurang. Konten buku ttidak pernah berubah dari masa ke masa (terutama buku sejarah), maka wacana yang dibawapun tetap sama “doktrinya” tetap sama. Selain itu label sebagai pelajaran “hafalan” membuat pengajaran sejarah disekolah “kering” muatan.
Upaya pengajaran sejarah kontroversial dewasa ini bukan lagi hal yang tabu, pintu historiografi isu-isu sejarah kontroversial sudah terbuka, tidak seperti masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu perlu diberikan ruang untuk pengajaran isu-isu sejarah kontroversial didalam PBM disekolah. Pengajaran sejarah isu kontroversial dapat dilakukan dengan cara menyajikan berbagai versi narasi peristiwa didalam pembelajaran secara berimbang. Guru harus berani dan kreatif untuk menyiapkan peserta didik memahami kondisi sosial politik secara nyata. Hal ini mungkin terjadi apabila guru telah memiliki kemauan dan kemampuan untuk menyiapkan pembelajaran sejarah kontroversial.

Lalu bagaimana guru harus bersikap terhadap isu kontroversial, seorang guru seharusnya menyajikan berbagai macam versi peristiwa untuk menjadi bahan analisa siswa. Sikap yang harus dihindari adalah menghindari dan memaksakan, menghindari dengan tidak memberikan ruang bagi pembahasan isu kontroversial. Dan memaksakan dengan memaksakan salah satu versi peristiwa kepada siswa. Yang terpenting juga adalah sikap netral guru terhadap pembahasan. Kompetensi guru dalam menyiapkan proses pembelajaran sangat diandalkan bagaimana ia mempersiapkan materi, sumber-sumber, dan strategi pembelajaran.
Dengan terbukanya pintu bagi pembahasan isu-isu kontroversial dalam pembelajaran di sekolah sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pembelajaran yang dialogis dan interaktif. Yang menjadi kekurangan mendasar dalam pembelajaran (pribadi) adalah kurangnya dialog dan interaksi antara guru dan siswa dalam PBM. Ilustrasi Freire bahwa siswa itu diibaratkan sebagai bejana kosong dan tugas guru adalah mengisinya, adalah tepat. Mengajak siswa berdialog dan berdiskusi untuk bersama-sama memahami realitas (dalam kasus ini latar belakang historis bangsa).

Pembelajaran sejarah di Indonesia pada dasarnya bersandar pada prinsip “filosofis–ideologis”, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk membangun semangat kebangsaan, memupuk jiwa nasional dan rasa bangga anak-didik terhadap hasil karya agung nenek moyang di masa lalu, sehingga pendidikan sejarah diharapkan mampu menjadi wahana pendidikan, yang memungkinkan para siswa memainkan peran yang bertanggung jawab dalam masyarakat. Selain tujuan filosofis-ideologis ada juga tujuan keilmuan yaitu melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan, (lebih lengkapnya lihat permendiknas no 22 tahun 2006 tentang standar isi).

Jelas bahwa pengajaran sejarah di sekolah memiliki perbedaan dengan pengajaran ilmu sejarah di Perguruan Tinggi. Dalam pembelajaran sejarah di sekolah terkandung tujuan pendidikan nasional jadi tentu ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Tapi realitanya, stigma yang diberikan masyarakat terhadap pelajaran sejarah sebagai pelajaran “menghafal” tentunya “berbahaya” jika pelajaran sejarah hanya jadi sarana pemupukan ideologi atau indoktrinasi kekuasaan. Maka dari itu perlu dikembangkan sebuah pendekatan baru, cara baru dalam pembelajaran sejarah untuk mendamaikan tujuan yang bersifat ideologis dengan tujuan keilmuan (berpikir kritis). Tapi bukan berarti dengan mengajarkan isu-isu kontroversial kita telah menyepelekan tujuan filosofis-ideologi dan lebih mementingkan kemampuan berpikir kritis siswa. Contohlah negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Afrika Selatan yang mengajarkan ini isu-isu sejarah kontroversial negerinya, supaya menjadi pembelajaran bagi generasi yang akan datang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar